Sebelum Senja
Aku berjalan dengan sepatu tanpa tali dan terbang menyusuri ladang jagung, teh dan padi yang mulai tunduk menguning. bersama hembusan angin teduh pagi itu. kemudian hinggap di ranting pohon beringin yang amat ridang yang tampak tak di tumbuhi benalu sedikitpun. di bawahnya terdapat aliran air yang mengalir jernih menuju lautan, di telingaku terngiang nyanyian burung burung pagi ikut menyemarakan pagi itu. kemejaku menarikku untuk menjelejah lebih jauh, aku kembali terbang menyusuri hutan lebih dalam dan sampailah di sebuah perkampungan yang asing menurutku, sangat asing. aku susuri rumah rumah penduduk, semua tampak tak beratap, hanya dinding dan lantai yang sudah di tumbuhi lumut.
Disana terlihat seorang kakek di pinggir sebuah danau yang keruh, ia pandang danau tersebut. dengan tajam, kemudian dengan gesit kakek itu melepas sandal sebelah kirinya dan melemparnya ke tengah danau, kemudian ia ambil pungut kembali sandalnya, dan dengan hati hati ia kembali ke tepi danau, ia kembali memandang danau dengan tajam nya, ia
kembali melempar sandalnya, dan kembali ia pungut. aku perhatikan berlama lama, kakek itu terus menerus melakukan hal yang sama. keindahan pagi itu meredup.
Aku kembali meneruskan perjalanan, tepat di arah barat ada sesosok wanita muda sedang menimba air di pinggir sumur, di sampingnya terdapat jeligen berukuran besar dan sebuang corong tepat di lubangnya, di sebelahnya lagi ada sekotak bak yang terbuat dari marmer yang di bentuk sedemikian rupa, indah memang sayangnya bak itu kosong, kering, tak berair. aku perhatikan wanita muda itu, ia tarik tali yang terhubung dengan katrol di atasnya, tak lama ember air muncul di hadapannya, ia ambil ember tersebut. dengan seketika ia siramkan air itu ke seluruh tubuhnya, ia basah kuyup. entah sengaja atau tidak ia menoleh ke arah ku, tatapannya kosong. dan ia pergi begitu saja tanpa menghiraukan jeligen bercorong dan bak marmer itu.
Matahari mulai ganas ia mulai melotot ke arah bumi, tak berkedip sedikitpun kecuali terhalang awan yang berbondong-bndong berlarian sejalan dengan arah angin. aku berteduh di depan sebuah toko di samping sebuah gubuk tua, aku duduk di pangkuan kursi yang terbuat dari rotan muda, tak lama di hadapanku tampak sebuah truk gandengan yang berusaha parkir, tetapi tiang gubuk di samping toko itu tertabrak dan akhirnya bagian depan gubuk itu runtuh, para penghuni gubuk itu berlarian terbirit-birit, lari kocar kacir sambil menganga ke arah pintu truk. empat orang anak kecil menangis, menjerit histeris sambil mencakar betis betis orang tuanya, sesekali orang tua mereka menepisnya. orang orang di dalam toko bersikap acuh, melakukan jual beli seperti biasanya, padahal jeritan anak kecil tadi terdengar hingga desa sebelah, bahkan negara tetangganya, tetapi masyarakat desa dan negara tetangga hanya membincangkannya tanpa ingin menyingsingkan lengan baju mereka.
Sopir truk turun dari mobilnya, ia sawerkan uang lembaran ke arah penghuni gubuk itu tanpa di liriknya sedikitpun, sopir itu berjalan dengan perut buncit dan baju ketatnya ke arah toko. penghuni gubuk itu saling berebut uang itu dengan menjerit jerit girang, anak anak mereka terinjak injak, orang tua di antara mereka terseret saudaranya sendiri, seorang pemuda di antara mereka mencoba menenangkan penghuni gubuk, tetapi penghuni lain masih terus menjerit jerit, sampai-sampai saling menganiaya mereka, bahkan ada seorang gadis yang memukuli dirinya sendiri.
Aku lihat sopir tadi sedikit berbisik kepada salah seorang laki-laki berkumis, mungkin laki-laki itu pemilik toko tersebut. lelaki berkumis mengangguk seakan mengerti, ia berputar putar mengelilingi toko dan menepuk pundak para pegawainya, dan ia mengambil pecut dari lacinya, ia pecut para pegawai yang diam mematung di tempatnya berdiri.
Lelaki berkumis itu naik ke lantai atas dan berbicara dengan suara lantang di balik mimbar. ia berbicara panjang lebar. kemudian ia terdiam dan memandang ke arah langit, ia meninggalkan mimbar dan mengambil koper besar dengan roda yang menahan beban koper. lelaki berkumis itu beranjak masuk ke pesawat yang telah ia booking. dengan serempak para pegawai berjalan seperti robot menuju truk gandengan. lelaki berkumis melambaikan tangan dari jendela pesawat sambil tersenyum ke arah para pegawai, penghuni gubuk, kepada lelaki buncit, dan termasuk kepadaku yang masih tetap duduk di pangkuan kursi rotan para pegawai masing-masing mengambil sekotak kardus dan pergi meninggalkan tempat itu.
Lelaki buncit itu kembali menghidupkan mesin truk dan di jalankan nya, semakin jauh dan menghilanh di telan jarak. di sana hanya terlihat para penghuni gubuk yang masih menjerit-jerit.
Aku beranjak dari tempat dudukku dengan hati bertanya-tanya “ada apa dengan negeri ini?” meninggalkan para panghuni gubuk dan kembali melewati sumur, jeligen bercorong, dan bak marmer juga kakek yang membuang sandal sebelah kirinya dan pohon beringin yang tadi pagi aku hinggapi. aku kembali di waktu senja hari.
Aku berjalan dengan sepatu tanpa tali dan terbang menyusuri ladang jagung, teh dan padi yang mulai tunduk menguning. bersama hembusan angin teduh pagi itu. kemudian hinggap di ranting pohon beringin yang amat ridang yang tampak tak di tumbuhi benalu sedikitpun. di bawahnya terdapat aliran air yang mengalir jernih menuju lautan, di telingaku terngiang nyanyian burung burung pagi ikut menyemarakan pagi itu. kemejaku menarikku untuk menjelejah lebih jauh, aku kembali terbang menyusuri hutan lebih dalam dan sampailah di sebuah perkampungan yang asing menurutku, sangat asing. aku susuri rumah rumah penduduk, semua tampak tak beratap, hanya dinding dan lantai yang sudah di tumbuhi lumut.
Disana terlihat seorang kakek di pinggir sebuah danau yang keruh, ia pandang danau tersebut. dengan tajam, kemudian dengan gesit kakek itu melepas sandal sebelah kirinya dan melemparnya ke tengah danau, kemudian ia ambil pungut kembali sandalnya, dan dengan hati hati ia kembali ke tepi danau, ia kembali memandang danau dengan tajam nya, ia
kembali melempar sandalnya, dan kembali ia pungut. aku perhatikan berlama lama, kakek itu terus menerus melakukan hal yang sama. keindahan pagi itu meredup.
Aku kembali meneruskan perjalanan, tepat di arah barat ada sesosok wanita muda sedang menimba air di pinggir sumur, di sampingnya terdapat jeligen berukuran besar dan sebuang corong tepat di lubangnya, di sebelahnya lagi ada sekotak bak yang terbuat dari marmer yang di bentuk sedemikian rupa, indah memang sayangnya bak itu kosong, kering, tak berair. aku perhatikan wanita muda itu, ia tarik tali yang terhubung dengan katrol di atasnya, tak lama ember air muncul di hadapannya, ia ambil ember tersebut. dengan seketika ia siramkan air itu ke seluruh tubuhnya, ia basah kuyup. entah sengaja atau tidak ia menoleh ke arah ku, tatapannya kosong. dan ia pergi begitu saja tanpa menghiraukan jeligen bercorong dan bak marmer itu.
Matahari mulai ganas ia mulai melotot ke arah bumi, tak berkedip sedikitpun kecuali terhalang awan yang berbondong-bndong berlarian sejalan dengan arah angin. aku berteduh di depan sebuah toko di samping sebuah gubuk tua, aku duduk di pangkuan kursi yang terbuat dari rotan muda, tak lama di hadapanku tampak sebuah truk gandengan yang berusaha parkir, tetapi tiang gubuk di samping toko itu tertabrak dan akhirnya bagian depan gubuk itu runtuh, para penghuni gubuk itu berlarian terbirit-birit, lari kocar kacir sambil menganga ke arah pintu truk. empat orang anak kecil menangis, menjerit histeris sambil mencakar betis betis orang tuanya, sesekali orang tua mereka menepisnya. orang orang di dalam toko bersikap acuh, melakukan jual beli seperti biasanya, padahal jeritan anak kecil tadi terdengar hingga desa sebelah, bahkan negara tetangganya, tetapi masyarakat desa dan negara tetangga hanya membincangkannya tanpa ingin menyingsingkan lengan baju mereka.
Sopir truk turun dari mobilnya, ia sawerkan uang lembaran ke arah penghuni gubuk itu tanpa di liriknya sedikitpun, sopir itu berjalan dengan perut buncit dan baju ketatnya ke arah toko. penghuni gubuk itu saling berebut uang itu dengan menjerit jerit girang, anak anak mereka terinjak injak, orang tua di antara mereka terseret saudaranya sendiri, seorang pemuda di antara mereka mencoba menenangkan penghuni gubuk, tetapi penghuni lain masih terus menjerit jerit, sampai-sampai saling menganiaya mereka, bahkan ada seorang gadis yang memukuli dirinya sendiri.
Aku lihat sopir tadi sedikit berbisik kepada salah seorang laki-laki berkumis, mungkin laki-laki itu pemilik toko tersebut. lelaki berkumis mengangguk seakan mengerti, ia berputar putar mengelilingi toko dan menepuk pundak para pegawainya, dan ia mengambil pecut dari lacinya, ia pecut para pegawai yang diam mematung di tempatnya berdiri.
Lelaki berkumis itu naik ke lantai atas dan berbicara dengan suara lantang di balik mimbar. ia berbicara panjang lebar. kemudian ia terdiam dan memandang ke arah langit, ia meninggalkan mimbar dan mengambil koper besar dengan roda yang menahan beban koper. lelaki berkumis itu beranjak masuk ke pesawat yang telah ia booking. dengan serempak para pegawai berjalan seperti robot menuju truk gandengan. lelaki berkumis melambaikan tangan dari jendela pesawat sambil tersenyum ke arah para pegawai, penghuni gubuk, kepada lelaki buncit, dan termasuk kepadaku yang masih tetap duduk di pangkuan kursi rotan para pegawai masing-masing mengambil sekotak kardus dan pergi meninggalkan tempat itu.
Lelaki buncit itu kembali menghidupkan mesin truk dan di jalankan nya, semakin jauh dan menghilanh di telan jarak. di sana hanya terlihat para penghuni gubuk yang masih menjerit-jerit.
Aku beranjak dari tempat dudukku dengan hati bertanya-tanya “ada apa dengan negeri ini?” meninggalkan para panghuni gubuk dan kembali melewati sumur, jeligen bercorong, dan bak marmer juga kakek yang membuang sandal sebelah kirinya dan pohon beringin yang tadi pagi aku hinggapi. aku kembali di waktu senja hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar